Jumat, 05 November 2010

Norbert Wiener menciptakan Sibernetika

Norbert Wiener, Cybernetics Penemu, Sejarah Internet



Norbert Wiener, 
Cybernetics Inventor, Internet History


Sejak Leibniz ada mungkin belum ada orang yang telah memiliki perintah penuh dari seluruh kegiatan intelektual pada zamannya. Sejak saat itu, ilmu pengetahuan telah semakin tugas spesialis, di bidang-bidang yang menunjukkan kecenderungan untuk menjadi makin sempit. Sebuah abad yang lalu ada mungkin telah ada Leibniz, tapi ada Gauss, seorang Faraday, dan Darwin. Hari ini ada beberapa ulama yang bisa menyebut diri mereka ahli matematika atau ahli fisika atau ahli biologi tanpa pembatasan.
Seorang pria mungkin merupakan topologi atau acoustician atau coleopterist sebuah. Dia akan diisi dengan jargon bidangnya, dan akan tahu semua literatur dan semua konsekuensi, tetapi, lebih sering daripada tidak, dia akan menganggap subjek berikutnya sebagai sesuatu milik koleganya tiga pintu koridor, dan akan mempertimbangkan kepentingan di dalamnya pada bagian sendiri sebagai pelanggaran privasi yang tak berdasar.
- Wiener, Norbert; Cybernetics; 1948.
Norbert Wiener menemukan bidang cybernetics, mengilhami satu generasi ilmuwan untuk berpikir tentang teknologi komputer sebagai alat untuk memperpanjang kemampuan manusia.
Norbert Wiener lahir pada tanggal 26 November 1894, dan menerima gelar Ph.D. Matematika dari Harvard University pada usia 18 tahun untuk tesis pada logika matematika. Ia kemudian belajar di bawah Bertrand Russell di Cambridge, Inggris, dan David Hilbert di Göttingen, Jerman. Setelah bekerja sebagai wartawan, guru universitas, insinyur, dan penulis, Wiener ia disewa oleh MIT pada tahun 1919, kebetulan tahun yang sama sebagai Vannevar Bush. Pada 1933, Wiener memenangkan Hadiah Bôcher untuk bekerja brilian tentang teorema Tauberian dan analisis harmonik umum.
Selama Perang Dunia II, Wiener bekerja pada teknologi peluru kendali, dan mempelajari bagaimana elektronik canggih menggunakan prinsip umpan balik - ketika rudal berubah penerbangan dalam respon terhadap posisi saat ini dan arah. Dia menyadari bahwa prinsip umpan balik juga merupakan fitur kunci dari bentuk kehidupan dari tanaman yang paling sederhana untuk binatang yang paling kompleks, yang mengubah tindakan mereka sebagai tanggapan terhadap lingkungan mereka. Wiener mengembangkan konsep ini ke dalam bidang cybernetics, tentang kombinasi manusia dan elektronik, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1948 dalam buku Cybernetics.
Wiener visi tentang cybernetics memiliki pengaruh kuat pada generasi kemudian ilmuwan, dan penelitian terinspirasi ke potensi untuk memperluas kemampuan manusia dengan interface untuk elektronik canggih, seperti studi antarmuka pengguna yang dilakukan oleh program SAGE. Wiener mengubah cara setiap orang berpikir tentang teknologi komputer, mempengaruhi pengembang kemudian beberapa Internet, terutama JCR Licklider.
Pada tahun 1964, Norbert Wiener memenangkan US National Medal of Science. Pada tahun yang sama, ia menerbitkan salah satu buku terakhirnya berjudul "Tuhan dan Golem, Inc: Komentar A pada Poin Tertentu mana Cybernetics impinges Agama".
Sumber Daya. Situs-situs berikut yang terkait dengan Norbert Wiener dan sibernetika telah ditetapkan untuk beberapa tahun.

Rabu, 03 November 2010

Melihat Allah di Gunung Sinai





Empatratus kilometer ke arah tenggara Kairo, setelah melintasi terusan Suez, kita akan sampai di Semenanjung Sinai. Di sana, ada sebuah gunung menjulang setinggi 2642 meter bernama Jabal Katharina.

Di lerengnya, ada biara tertua yang dibangun tahun 331 M, Monastery St. Catharine. Yang menarik, di dekatnya ada lagi gunung yang lebih rendah. Tingginya 2285 meter. Gunung ini bernama Jabal Musa. Kita harus mendaki malam hari agar bisa mencapai puncaknya di pagi hari, untuk menyaksikan pemandangan yang sangat mencekam. Batu-batu hitam raksasa di puncaknya tampak meleleh membeku seolah bersujud. Konon, di puncak inilah Nabi Musa a.s. memohon agar bisa melihat Allah.

Peristiwa ini diabadikan dalam surat Al A’raf (7) ayat 143, “Dan tatkala Musa tiba di miqat lalu berkata, ‘Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu supaya aku bisa melihat-Mu.’ Maka Tuhan pun berkata, ‘Kamu tidak akan bisa melihat-Ku , tetapi pandang saja gunung di seberangmu, bila dia tetap di tempatnya, maka kamu akan melihat-Ku’. Maka ketika Tuhannya menampakkan cahaya-Nya ber-tajalli kepada gunung, jadilah gunung itu hancur lebur. Maka Musa tersungkur pingsan. Dan setelah siuman dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku akan menjadi orang mukmin pertama’.”

Kisah ini tercantum juga dalam kitab Qishashul Anbiya’ karangan Ibnu Katsir yang mencoba menjelaskan bahwa Nabi Musa a.s. adalah Kalimullah, orang yang mampu berbicara langsung dengan Allah. Namun dia hanya mendengar suara Allah dari balik hijab. Ketika dia meminta hijab itu disingkapkan, Allah tidak menuruti, tetapi Ia memberikan pelajaran telak kepada hamba-Nya sehingga pingsan dan sadar kelemahan diri. Manusia memang tidak akan sanggup melihat Allah. Jangankan cahaya Allah, memandang matahari pun mata manusia akan terbakar.

Tetapi kelak di akhirat, melihat Allah merupakan puncak kenikmatan ahli surga. Lebih mulia dari kenikmatan istana, kebun, buah-buahan, dan bidadari surgawi. Ketika para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, akankah kita kelak bisa memandang Allah?” Beliau menjawab, “Kalian akan memandang-Nya sebagaimana kalian memandang bulan purnama raya. Dan setelah itu para ahli surga tidak mau lagi memalingkan wajah mereka dari memandang Allah.” Subhanallah.

Prof. Dr. Muhammad Tahir al-Qadri, ulama Pakistan pendiri Idarah Minhajul Qur’an di Lahore, memiliki kiat untuk bisa “melihat” Allah di dunia. Ia menguraikan makna ihsan secara berbeda dalam bukunya Islamic Philosophy of Human Life. Ketika malaikat Jibril bertanya tentang Iman dan Islam kepada Rasulullah saw. lalu dijelaskan oleh beliau, Jibril berkata, “Kamu benar.” Lalu Jibril bertanya lagi, “Apakah ihsan itu?” Rasul menjawab, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat Dia, maka bila kamu tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.” Jadi, ihsan adalah beribadah dengan merefleksikan sifat Allah, al Bashir, Yang Maha Melihat.

Tetapi bagaimana kita bisa beribadah seolah-olah melihat Dia? Menurut Prof. Tahir al-Qadri, kalimat hadis tadi harusnya dipenggal secara berbeda, bukannya fa in lam takun tarohu, tetapi fa in lam takun, tarohu. Terjemahnya ialah, “Maka bila kamu tidak ada, kamu akan melihat Dia”. Allahu Akbar.

Rupanya penghalang untuk bisa melihat Dia adalah sikap mendewakan diri. Ketika seseorang masih mempertahankan keberadaannya, masih mementingkan eksistensinya, masih mendahulukan kepentingannya, ia tidak akan bisa “melihat” Allah. Ia tidak akan bisa menghayati kebesaran-Nya. Ia tidak akan bisa mengerti keadilan-Nya. Ia tidak akan bisa menyaksikan keindahan-Nya. Ia tidak akan bisa merasakan kehangatan kasih sayang-Nya. Maka untuk bisa khusyu’ seolah-olah melihat Dia, kita harus meleburkan diri, menghancurkan diri, bagaikan gunung yang sirna mencair oleh tajalli, cahaya Allah. Semakin larut kita menghampakan diri dalam fana, semakin jelas wajah Allah bagi mata hati kita. Ihsan adalah Zero Mind Process. Lenyapkan dirimu, kamu akan “melihat” Allah. Wallahu A’lam.